Judul: Berbagi Info Seputar Photo Essay; Back to Nature Full Update Terbaru
link: Photo Essay; Back to Nature
Artikel Terbaru Photo Essay; Back to Nature Update Terlengkap 2017
Setiap foto selalu memiliki makna tersendiri!
Saya merasa hal demikian dalam hasil bidikan kamera. Bagus atau jelek, menurut ukuran orang lain melihatnya itulah kesenjangan atau kebahagiaan dalam hidup. Bagi saya pribadi, setiap foto yang dihasilkan tetap “bagus” karena momen itu dipotret untuk tidak melupakan kejadian.
Seorang fotografer profesional, Eric Kim dalam blognya menulis tentang 100 Things I Have Learned About Photography yang mendasar sekali sebelum mulai membidikkan kamera ke objek tertentu. Tiga poin yang menurut saya menarik dari buah pemikiran fotografer ini yaitu:
"Cetaklah fotomu besar-besar, mereka akan membuatmu bahagia. Foto terbaik bercerita sehingga membuat yang melihat penasaran. Jangan pernah menghapus foto." (Blog Eric Kim)
Tiga foto yang saya sertakan dalam artikel ini pada dasarnya “biasa” saja dan telah pula saya upload ke media sosial. Namun, tiga foto ini membuat saya banyak merenung akan kejadian di sekitar. Status sosial yang terjadi membuat saya ingin berlabuh dan mengatakan pada dunia bahwa hasil bidikan saya ini menyiratkan sesuatu. Foto tidak hanya untuk dilihat tetapi juga untuk diselami setiap makna yang terkandung di dalamnya. Foto yang menarik tidak hanya menawarkan yang manis-manis saja, atau yang cantik-cantik saja. Foto yang menyimpan makna itulah yang harus dipajang sebagaimana mestinya di tempat manapun.
Foto pertama saya, tentang kesyahduan pilu yang enggan dibicarakan lagi oleh masyarakat setempat. Warga Semoyong di Nusa Tenggara Barat hidup dalam kekeringan sekian tahun lamanya. Perkara menarik memang tidak ada dalam foto yang saya hadirkan ini karena urusan tidak ada air bisa didapat di mana saja. Tahukah kita bahwa ada rumah yang terbuat dari kotoran sapi karena susahnya mendapatkan air untuk mengaduk semen?
Inilah potret yang saya abadikan melalui kamera smartphone dengan resolusi 8 megapixel.
Apakah saya termasuk penulis yang sedang menuliskan penderitaan orang lain? Apakah saya termasuk fotografer “ecek-ecek” yang sedang memamerkan kemelut kehidupan orang lain?
Entahlah. Saat itu tangan saya begitu gegabah mengambil gambar ini. Saya hanya berpikir, sekali seumur hidup – mungkin – saya ke sini dan inilah waktunya untuk mengabadikan kehidupan mereka. Kehidupan yang sungguh tidak layak bagi saya yang hidup seadanya dengan rumah lantai semen kasar. Jujur saja saya enggan masuk ke dalam rumah ini dan merasa kasihan sekali pada mereka yang tinggal di sana. Namun waktu tidak pernah memihak pada kemauan manusia, tidak hanya rumah di dalam kamera saya saja yang lantainya dari kotoran sapi. Rumah-rumah lain, tetangga rumah itu memiliki lantai yang sama. Perbedaannya terletak pada rumah yang sedang Anda lihat ini – maaf – kotoran sapinya belumlah terlalu kering.
Masyarakat Semoyong menetap di dalam rumah dengan lantai dari kotoran sapi dengan tanpa mengeluh. Diskusi ringan dengan masyarakat setempat di depan rumah tersebut tidak mengarahkan pada keengganan mereka hidup demikian. Mereka tidak terlihat kecewa pada hidup yang terus mengalir seperti air.
Dari potret ini saya banyak belajar mengenai arti kehidupan yang tidak memihak. Jika saya berada di posisi mereka, sanggupkan tinggal dalam rumah dari bambu dengan lantai kotoran sapi? Mampukah saya hidup dalam keadaan “bau” kotoran binatang sepanjang hari? Dan banyak pertanyaan lain yang sulit saya jabarkan satu persatu.
Foto ini telah mengajarkan saya tentang bagaimana cara bersyukur pada hidup. Toh, selama saya bersyukur rejeki sedikit saja pasti bermanfaat lebih. Mereka yang menetap di rumah lantai kotoran sapi tidak minder dengan tetangga yang sanggup memoles lantai rumah mereka dengan keramik dan dinding batu bata.
Saya tinggalkan foto kenang-kenangan bersama masyarakat Semoyong yang saya doakan kehidupan mereka semakin membaik. Foto berikutnya, walaupun samar tetapi ketidaksengajaan memotretnya membuat saya mendalami makna lebih.
Foto ini saya ambil di Pantai Senggigi, Lombok. Begitu melihat hasilnya, saya terkagum sendiri. Memang tidak sebagus kamera profesional lainnya karena diambil melalui kamera smartphone beresolusi 8 megapixel.
Apa yang saya kejar dalam hidup ini? Begitu pertanyaan saya setelah melihat hasil bidikan ini. Setiap hari mengejar ini dan itu. Setiap saat bermimpi ingin menjadi seperti siapa. Namun, saat matahari terbenam saya akan kembali ke peraduan.
Matahari tidak pernah ingkar janji. Terbit dari timur, terbenam ke barat. Tokoh yang entah siapa di dalam foto ini saya berterima kasih padanya. Langkahnya yang sedang berlari mengejar ombak seakan-akan sedang mengejar matahari yang sedang meninggalkan pagi. Langkahnya begitu gagah seperti ketakutan teramat berat pada “pesawat” yang bernama matahari telah lepas landas. Pesawat dengan nomor penerbangan “matahari” itu tidak pernah kembali dengan nomor penerbangan yang sama. Tiap hari pesawat itu memiliki nomor penerbangan berbeda walaupun rute yang ditempuh tetaplah sama. Nomor penerbangan hari ini, Sabtu pada tanggal 10 Oktober 2015 tak akan pernah ada lagi di penerbangan berikutnya, sampai akhir masa.
Lantas, apa yang saya kejar dan kerjakan di nomor penerbangan ini dari pagi sampai sore? Cuma ikut terbang saja? Transit untuk menghirup udara segar?
Apapun bisa terjadi selama pesawat bernama matahari terbang di ketinggian yang sama. Saat cintanya berlebih, ia akan memeluk dengan hangat. Saat cintanya sedang-sedang saja, ia akan menebar panas luar biasa. Saat cintanya mengerucut, ia akan menutup mata melihat tingkah laku anak manusia di bumi.
Saya sering mendengar, rasanya tidak cukup sehari semalam 24 jam! Padahal waktu yang telah ditentukan lebih dari cukup untuk bersenang-senang di bumi. Mau melakukan apapun tidak ada yang melarang. Mau berbuat kebaikan hari ini akan mendapat pahala. Mau berbuat kejahatan hari ini belum tentu besok akan segera terselesaikan begitu pesawat bernama matahari mendarat di pagi.
Foto ini sederhana. Apa adanya. Bukankah saya harus bersyukur saja masih diberi kesempatan untuk hidup?
Foto ketiga, tentang kesenangan hidup yang dibutuhkan banyak orang. Makanan!
Hidup memang bukan untuk makan, namun makan perlu untuk hidup. Selama konsumsi makanan cukup, aktivitas pun tidak terhalangi. Apapun makanan yang dikonsumsi mempunyai manfaat bagi tubuh. Seperti mi kocok ini.
Siapapun bisa dengan mudah memotret mi. Saya pun memotret mi ini untuk bersenang-senang saja. Namun kesenangan itu justru menimbulkan nikmat selezat mi yang sedang saya santap. Mi kocok ini terdiri dari mi tepung, mi tiaw, bawang goreng, bawang yang diiris kecil-kecil, daging yang dihaluskan, daun soup yang ditaburi di atasnya. Untuk menambah rasa, bisa menambahkan cuka, saus, kecap manis atau asin, dan cabai yang telah dihaluskan.
Mi kocok ibarat kehidupan yang bisa pedas, asam, asin dan hambar. Saat mengaduk kuah mi kocok dengan kecap manis terlalu banyak, rasanya masih bisa disantap sampai habis. Namun saat kuah mi kocok ditambah terlalu banyak cuka, sebaiknya mi ini ditinggal saja karena asam lua biasa.
Hidup yang dicampur banyak masalah memang rumit sekali. Kunci dari semua itu, santai saja menghadapinya. Pada masanya, masalah demi masalah akan menjadi kenikmatan tersendiri. Aduk saja sampai rata, santap dengan lezat, dan buang ke suatu tempat jika masanya telah dilupa.
Tiga foto ini mewakili apa yang saya rasa. Ke manapun langkah dituju, smartphone dengan fitur kamera terbaik mesti bawa. Mengabadikan ini dan itu sudah menjadi kewajiban saja. Pada saatnya, momen berharga itu akan dikenang sebagai pelajaran hidup.
Referensi:
Blog Eric Kim: http://erickimphotography.com/blog/2010/06/21/100-things-i-have-learned-about-photography/
Sumber Foto: dokumentasi pribadi.
Itulah sedikit Artikel Photo Essay; Back to Nature terbaru dari kami
Semoga artikel Photo Essay; Back to Nature yang saya posting kali ini, bisa memberi informasi untuk anda semua yang menyukai Cyber Pekok. jangan lupa baca juga artikel-artikel lain dari kami.
Terima kasih Anda baru saja membaca Photo Essay; Back to Nature