Info Tentang Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian Update Terbaru 2017 Gratis

Sedikit Info Seputar Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian Terbaru 2017 - Hay gaes kali ini team Cyber Pekok, kali ini akan membahas artikel dengan judul Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian, kami selaku Team Cyber Pekok telah mempersiapkan artikel ini untuk sobat sobat yang menyukai Cyber Pekok. semoga isi postingan tentang Artikel #Fiksi, Artikel Cerpen, Artikel Edukasi, Artikel Pendidikan, yang saya posting kali ini dapat dipahami dengan mudah serta memberi manfa'at bagi kalian semua, walaupun tidak sempurna setidaknya artikel kami memberi sedikit informasi kepada kalian semua. ok langsung simak aja sob
Judul: Berbagi Info Seputar Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian Full Update Terbaru
link: Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian
"jangan lupa baca juga artikel dari kami yang lain dibawah"

Artikel Terbaru Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian Update Terlengkap 2017

napi main seks dalam penjara sesama napi
Kisah cinta para jejaka - kristinusunting.wordpress.com
Malam-malam yang lewat selalu sunyi di jalan itu. Pohon-pohon yang rindang di siang hari seperti tak terlihat ditutup gelap malam, padahal lampu-lampu hias di setiap sudut menyala dengan terang. Suara jengkrik bersahutan di antara jalan setapak menuju rumah gedung di jalan buntu. Rumah itu tampak megah. Mewah. Penuh cahaya. Di pagari tembok besar. Berkilauan oleh tubuh-tubuh berkeringat siang dan malam. Sixpack yang menggoda. Tinggi yang menjulang. Kulit mulus terawat. Pria perkasa yang akan digilai wanita apabila mereka nyasar di perempatan jalan tempat itu.

Sayangnya, mereka hanya keluar pagar rumah beton itu kala libur musim panas. Puluhan mobil akan berderet, silih berganti di depan pintu pagar besi. Bergantian pula mereka meninggalkan rumah gedung itu sesuai nomor antrian yang telah ditetapkan penjaga rumah gedung dengan Asrama Nomor Sekian namanya.
Gedung itu kembali sepi seperti jalanan di depannya di malam hari apabila mereka yang di sana telah pergi berlibur. Tokoh mengawaki Asrama Nomor Sekian seorang diri saja. Ia terbiasa dengan sunyi. Ia tak pernah berinteraksi dengan siapapun di luar pagar rumah besar itu. Biarpun di dua ruas jalan menuju rumah itu kebun teh bersemi hijau dan harum mewangi, tak pernah membuatnya menyentuh bahkan mengecup wanginya. Tatapan matanya selalu lurus, garang, tajam, kaku dan tak pernah tersenyum pada siapapun. Termasuk pada mereka yang telah kembali dari liburan musim panas.
Rumah gedung itu kembali dihiasi oleh denting piring, gelas pecah, sendok berdentang, bola voli dipukul, bola kaki ditendang, napas terengah-engah tiap waktu, tak hanya di malam hari saja namun di siang hari juga demikian. Tokoh menjaga mereka yang kembali dengan perasaan tak terdefinisi. Ia senang melihat butir keringat mengucur dari tubuh atletis di depannya. Ia meraung-raung mengintip tubuh-tubuh kekar mandi bersama di kamar besar atau bahkan berenang di kolam renang. Ia sangat galau apabila mendapati mereka yang gempal secara terang-terangan telanjang di depannya. Bulu kuduknya tak pernah meredup karena napsu di dalam dirinya sulit ia keluarkan begitu saja. Ia masih punya hormat pada tuannya. Ia pun masih punya harga diri berlebih kepada mereka yang seringkali meminta bantuan kepadanya, kadang bernyanyi atau berdendang sebuah lagu kenangan atau nyanyian hip-hop anak muda masa kini.
Tokoh sering meratapi nasibnya yang tidak seberuntung anak-anak orang kaya itu. Walaupun mereka ogah-ogahan berada di Asrama Nomor Sekian namun mereka tetap saja berkelakuan baik, dalam tanda kutip. Sebenarnya, mereka adalah pembangkang nomor satu dan sulit diatur sehingga dibuang orang tua ke gedung entah di mana alamat jelas untuk pengiriman surat ini. Di antara mereka ada yang diam-diam merokok di loteng. Mabuk-mabukan di salah satu kamar. Bahkan, nonton film porno di siang hari. Pemandangan yang sulit ia lupakan begitu saja.
Di antara mereka semua, sosok Kurniawan menarik perhatiannya. Dada yang berbulu membuatnya ingin segera berlari ke sana. Tak hanya itu, bulu saja tak cukup jika tidak bidang. Kurniawan memiliki pesona yang ia harapkan dari semua pria yang ada di sekitarnya. Kurniawan tampaknya sering menyendiri. Berbeda dengan mereka yang lain, Kurniawan sama sekali tidak pernah akrab denganya. Berulangkali ia mengajak ngobrol, Kurniawan cuek bahkan membatu. Padahal, dalam malam-malam sunyi ia selalu berdoa agar Kurniawan menjadi jodohnya. Lirikan mata Kurniawan pun tak pernah bersahabat kepadanya. Lirikan mata itu begitu jijik melihat kedatangannya. Jika mereka yang lain tak malu-malu telanjang di depannya, Kurniawan menutup seluruh tubuh untuk dapat ia nikmati. Padahal, apa malunya Kurniawan memberikan kesempatan kepadanya sekali saja. Mereka berdua sama-sama pria dewasa. Ia sendiri sering sekali melihat di tengah malam mereka yang lain tidur berpelukan di dalam satu tempat tidur. Kurniawan sama sekali tak paham dengan dirinya yang terus mengejar.

Baca Juga Cerita Cinta di Balik Kelambu


Ke mana Kurniawan berada, di sanalah ia ada. Tokoh mematung di pinggir lapangan voli menunggu Kurniawan usai smash. Jangan harap Kurniawan menerima botol minum darinya. Dengan senyum sinis, Kurniawan akan keluar lapangan dan menuju ke paviliun menghadap ke kebun teh. Ia mengejar langkah Kurniawan ke sana, namun pria itu berpaling sejauh mungkin sebelum meninggalkan paviliun.
Apa salahnya jika mencintai Kurniawan? Sejak pertama Kurniawan datang ke Asrama Nomor Sekian, ia telah mendapat firasat tak baik. Ia langsung merasa bahwa Kurniawan adalah jodohnya di dunia ini. Penantian yang cukup panjang karena ia hanya menanti seseorang yang ingin ia cintai sepenuh hati.
Lima tahun sudah ia menjaga Asrama Nomor Sekian dengan sukacita. Tiap tahun pula akan datang mereka yang baru, manja, putih, bersih, belum atletis namun sedap dipandang. Namun baru Kurniawan yang membuat detak jantungnya tak keruan. Ia memandang jauh tiap kali Kurniawan jauh dari jangkauannya. Teman-teman Kurniawan sering menganggu dengan senggolan tangan, atau secara terang-terangan mengatakan bahwa ia sedang memperhatikan dia. Seperti biasa, dengan wajah masam Kurniawan sinis kepadanya yang sabar menanti kepastian.
Tokoh sadar diri dengan menepi dan tak kembali ke hadapan Kurniawan. Ia menjalankan tugas sebaik mungkin di Asrama Nomor Sekian. Ia tak punya nyali untuk menyatakan cinta kepada Kurniawan yang kerap datang dalam mimpinya. Ia bahkan sering tidak tidur karena dibayangnya hanya Kurniawan seorang yang muncul. Secara diam-diam ia mengamati tidur Kurniawan dari jauh dan berharap pria itu mengubah pendiriannya. Paling tidak, ada sisa sedikit waktu Kurniawan untuk bersamanya. Ia akan mendekap erat pelukan Kurniawan apabila kesempatan itu tiba. Tentu saja ia tak akan meminta berhubungan badan seperti orang lain di asrama ini. Ia hanya ingin dibelai dan dimanja saja. Kasih sayang berlimpah lebih dari cukup untuknya bersama Kurniawan. Ia tahu, bahkan Kurniawan juga tahu mereka yang sering nonton film porno mempraktikkan perbuatan dari film di kamar, di kamar mandi bahkan di lorong-lorong sepi. Tak ada yang protes. Tak ada yang menolak karena mereka hanya melihat tubuh atletis saja tiap waktu. Mungkin tak ada cinta, tetapi napsu telah mengalahkan cinta.
Tokoh berani bertaruh untuk itu. Ia mencintai Kurniawan. Sakit hatinya. Perih jiwanya begitu melihat Kurniawan dipeluk orang lain tanpa perlawanan. Ia tak pernah bisa menghalau tangan-tangan itu menarik Kurniawan ke dalam pelukan mereka. Ia tahu tak ada cinta. Ia tahu itu hanya pelampiasan belaka karena di sini tak ada wanita. Ia paham hanya liburan musim panas mereka baru terbebas. Itupun jika mereka ingin bebas, ataukah hanya mengulang kisah terenak selama di asrama.
Mereka tak akan rugi apa-apa. Pria dan pria yang saling tatap saja.
Tokoh tak membawa napsu untuk memiliki Kurniawan. Ia membawa cinta. Kurniawan tak pernah mau melihat itu darinya. Kurniawan terlanjur melihat dengki dari dalam dirinya. Ia tak pernah sudi Kurniawan direngkuh keperjakaannya oleh orang lain yang terlampau sering berbuat itu dengan yang lain. Bahkan, si penjaga Asrama Nomor Sekian sering mengiring yang ganteng-ganteng ke kamarnya.
Ia meraung sejadi-jadinya. Tak pernah ikhlas jika Kurniawan direnggut oleh orang lain dari sisinya. Ia mengejar ke mana Kurniawan pergi. Ia mencari-cari wangi tubuh Kurniawan. Ia mengendus-endus sosok Kurniawan di mana-mana. Dan langkahnya terhenti pada satu lorong sepi. Gelap malam telah tiba. Hanya lampur temaram. Di sana, Kurniawan dan seorang pria atletis berdiri saling berhadapan.
“Kamu tahu isi hatiku, Kur?”
“Soal apa?” jawaban Kurniawan selalu sinis. Tokoh cukup senang. Ternyata Kurniawan tidak hanya cuek kepadanya saja.
Si pria atletis itu menatap buas pada Kurniawan. Kurniawan malah sebaliknya, menunduk saja. Pria atletis itu lebih tinggi sepuluh centi dari Kurniawan sehingga mudah menekuk apabila Kurniawan menolak ajakan itu.
“Ayolah, Kur. Kamu tahu kita sangat terluka di sini. Have fun saja. Anggap ini sebagai pemanis kisah asrama kita!”
“Aku tak suka itu,”
“Kamu terima saja yang kuberikan, nanti kamu akan suka…,” pria atletis itu mengerling dengan jalang ke arah Kurniawan. Tampaknya Kurniawan akan luluh pada pria atletis itu. Tokoh tak mungkin bertahan dalam persembunyiannya terus-menerus. Ia harus bertindak sebelum kejantanan pria atletis itu menghujam halusnya bulu di tubuh Kurniawan.
“Sabar saja, sayang…,” bisik pria atletis itu. Napasnya mengendus-endus di bagian leher Kurniawan. Kurniawan memejamkan mata. Tangan kanan pria atletis itu membelai wajah Kurniawan yang menengadah ke atas. Tangan kiri pria atletis itu membelai-belai dan meremas-remas paha Kurniawan. Bibir mereka hampir bertemu.
Tokoh berlari sekuat tenaga. Ia tak akan membiarkan Kurniawan jatuh dalam permainan pria atletis itu. Ia mencintai Kurniawan karena ia cinta. Tak ada kata lain selain itu. Tak ada pengorbanan lain selain menghalangi orang lain berbuat jahat kepada orang yang dicintai.
Tokoh melompat. Tinggi sekali. Menurutnya sendiri. Kedua tangannya berusaha meremas. Mulutnya terbuka lebar. Sekali hentakan, pria atletis itu berteriak histeris.
“Kucing gilaaa!!!” pria atletis itu kesakitan. Zakarnya telah dicakar dan digigit si Tokoh, seekor kucing berbulu lebat, berbadan besar, penjaga lain di Asrama Nomor Sekian.
Wajah Kurniawan pias. Ia seperti baru sadar dari sesuatu yang mengerikan. Dengan langkah terburu-buru ia meninggalkan lorong gelap itu. Ia merasa telah terhipnotis oleh temannya sendiri.
“Kur…, tunggu,” pria atletis itu mengejar Kurniawan dengan tertatih-tatih. Kurniawan berlari sekuat tenaga. “Kurrrr….,”
Jerit pria atletis itu menganga.
“Lagi-lagi kamu yang menghalangiku!” bentak pria atletis itu pada si Tokoh. “Kamu tahu, pria tampan seperti itu susah diajak kencan!”
Rasain! Teriak Tokoh dalam hati.
Waktu itu adalah kesempatan berharga untuk Tokoh. Ia yakin sekali, mulai besok, atau kapan hati Kurniawan melunak, pria itu pasti akan sayang kepadanya!

Baca Juga Pola Pemikiran Ahok yang Memukau

Itulah sedikit Artikel Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian terbaru dari kami

Semoga artikel Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian yang saya posting kali ini, bisa memberi informasi untuk anda semua yang menyukai Cyber Pekok. jangan lupa baca juga artikel-artikel lain dari kami.
Terima kasih Anda baru saja membaca Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian