Info Tentang Batu Blah -Bagian Empat Update Terbaru 2017 Gratis

Sedikit Info Seputar Batu Blah -Bagian Empat Terbaru 2017 - Hay gaes kali ini team Cyber Pekok, kali ini akan membahas artikel dengan judul Batu Blah -Bagian Empat, kami selaku Team Cyber Pekok telah mempersiapkan artikel ini untuk sobat sobat yang menyukai Cyber Pekok. semoga isi postingan tentang Artikel #CeritaRakyat, Artikel #Dongeng, Artikel #Fiksi, Artikel Edukasi, Artikel Pendidikan, yang saya posting kali ini dapat dipahami dengan mudah serta memberi manfa'at bagi kalian semua, walaupun tidak sempurna setidaknya artikel kami memberi sedikit informasi kepada kalian semua. ok langsung simak aja sob
Judul: Berbagi Info Seputar Batu Blah -Bagian Empat Full Update Terbaru
link: Batu Blah -Bagian Empat
"jangan lupa baca juga artikel dari kami yang lain dibawah"

Artikel Terbaru Batu Blah -Bagian Empat Update Terlengkap 2017

 Lalu, terdengarlah dendang syahdu dari mulut Agam Tuha.
Buka pintô hai adôe,
Buka ju meuligôe,
Abang ka neu wôe,
Jak peu lôt manok…
Kokok ayam terdengar tiga kali dan pintu rumah itu langsung terbuka.
Aneuk Teungoh tertawa girang. Inilah saatnya melenyapkan Agam Tuha dari hadapannya. Aneuk Teungoh membawa pulang anak buahnya untuk mengatur strategi melawan Agam Tuha. Aneuk Teungoh tidak mau membuang waktu lagi.
Saat yang ditentukan tiba. Pulang dari menyabung, Aneuk Teungoh memerintahkan anak buahnya menculik Agam Tuha di tengah jalan. Mereka membawa Agam Tuha ke dalam hutan.
“Mau apa kalian?” tanya Agam Tuha tidak gentar. Ia sudah paham tabiat Aneuk Teungoh yang selalu membuat onar di desa.
“Engkau pasti tahu itikad baik kami,” nada suara Aneuk Teungoh penuh ejekan. Dalam tawa yang memengkakkan telinga, Aneuk Teungoh mendekatkan wajahnya ke wajah Agam Tuha. “Engkau serahkan ayam ini kepadaku dan semua harta di rumah itu,” tunjuk Aneuk Teungoh ke rumah Agam Tuha. Rumah itu tampak kecil dari kejauhan, di antara batang pohon-pohon besar.  
“Engkau akan kulepaskan dengan sekali tarik tali ini!” lanjut Aneuk Teungoh sambil memperagakan cara melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Agam Tuha.
“Aku tak sudi memberikannya!” pekik Agam Tuha.
“Engkau tak sudi, Agam Tuha?” tanya Aneuk Teungoh sambil mengangkat wajahnya. Aneuk Teungoh menggepalkan tangan kuat-kuat. “Engkau sudah tak berdaya, Kawan! Ayam jago ini milikku sekarang, sebentar lagi giliran harta yang engkau miliki dan tentu saja adik engkau yang cantik jelita!” Aneuk Teungoh terkekeh sampai air matanya keluar. Senang hati Aneuk Teungoh karena harapannya untuk merengkuh cita-cita selama ini segera tercapai. Selain menjadi kaya, ia pun akan menjadikan Inong Tulôt pasangan hidupnya.
“Jangan sentuh adikku!!!” suara Agam Tuha tercekat.
“Oh, adik engkau itu begitu berharga, hai Agam Tuha?”
“Jangan sentuh dia. Dia masih kecil!”
“Engkau tenang saja, Agam Tuha. Tak akan kusakiti adik engkau itu!”
“Lepaskan aku, lepaskan aku…!!!” rintih Agam Tuha. Tangan dan kakinya terasa keram. Tali yang mengikat tangan dan kakinya tidak mengendur sedikit pun.
“Tak semudah itu, Agam Tuha!”
“Lepaskan aku!!!” pekik Agam Tuha semakin keras.
Suara pukulan terdengar saling tabuh. Tidak hanya Aneuk Teungoh yang meninju dan menendang dengan kakinya. Anak buah Aneuk Teungoh juga melakukan hal yang sama. Berkali-kali mereka memukul Agam Tuha.
Dendam kesumat Aneuk Teungoh terbayar sudah saat melihat Agam Tuha lemah di atas tanah basah. Tubuh Agam Tuha remuk. Darah mengalir dari pelipisnya. Matanya terpejam. Nadinya telah berhenti. Jantungnya tidak lagi berdegup kencang.
Tawa Aneuk Teungoh membahana. Anak buahnya pun ikut tertawa. Mereka telah menang satu langkah. Kini giliran mereka menyerbu rumah Agam Tuha karena kunci telah mereka pegang, sebuah syair dan kokok ayam jago milik Agam Tuha. Aneuk Teungoh memutuskan untuk melakukan penyerangan besok hari karena rintangan terbesar telah mereka lumpuhkan.
Inong Tulôt gelisah tidak henti menanti abangnya pulang. Hari semakin malam namun Agam Tuha tidak kunjung pulang. Tidak seperti biasanya Agam Tuha demikian. Khawatir Inong Tulôt semakin merebak saat malam terus beranjak. Malam itu sangat sepi dan dingin. Tidak ada kokok ayam dan tidak ada Agam Tuha yang mendengkur pelan. Inong Tulôt memegang bunga mawar dengan erat di tangan kanannya. Di tangan kiri, ia pegang tempurung kelapa yang basah dan meninggalkan jejak air mata Keumala. Dua benda itu mengantarnya ke dalam tidur seorang diri. Tidurnya tidak tenang. Sebentar-sebentar ia terbangun dan memanggil Agam Tuha. Telinganya ditajamkan mana tahu Agam Tuha dan suara kokok ayam terdengar dari luar rumah.
Di pagi yang sedikit gerimis, Inong Tulôt mendengar suara syair di halaman rumahnya. Lama setelah syair didendangkan barulah ayam berkokok satu kali. Inong Tulôt ragu membuka pintu namun ia yakin itulah Agam Tuha. Inong Tulôt menarik pengait dan membuka pintu.
Terkejutlah Inong Tulôt mendapati Aneuk Teungoh menyeringai di depannya. Gigi kecokelatan Aneuk Teungoh tampak besar-besar. Tinggi badannya dua kali tinggi Inong Tulôt. Berat badannya hampir sebesar pintu rumah Inong Tulôt.
“Ayo, ambil semua harta benda di rumah ini!” perintah Aneuk Teungoh kepada anak buahnya. “Termasuk dia!”
Mendengar perintah terakhir itu, Inong Tulôt berlari meninggalkan rumah. Ia memutar langkah ke belakang, ke dalam hutan, karena di sana ada Batu Blah. Ia akan menendangkan syair seperti yang Keumala ucapkan waktu itu. Ia tahu ibunya telah menunggu masa ini tiba.
Dalam tangis Inong Tulôt terus berlari. Aneuk Teungoh dan anak buahnya mengejar. Langkah Inong Tulôt terhambat oleh rasa takut dan jalan berlumpur. Sesekali Inong Tulôt melirik ke belakang dan mendapati Aneuk Teungoh dan anak buahnya semakin dekat. Langkah kaki Aneuk Teungoh dan anak buahnya besar-besar. Begitu mudah menjangkau Inong Tulôt yang ketakutan.
Aneuk Teungoh dan anak buahnya berhasil menghadang langkah Inong Tulôt. Seringai Aneuk Teungoh bagai harimau. Tangan Aneuk Teungoh meraih-raih. Tangan anak buah Aneuk Teungoh juga meraih-raih. Namun mereka tidak dapat menjangkau Inong Tulôt.
“Mau lari ke mana engkau, Inong Tulôt?” suara Aneuk Teungoh seperti desiran angin kencang.
“Jangan sentuh aku!!!” pekik Inong Tulôt.
“Tak akan kusentuh engkau hai jelita. Ke marilah…,” bujuk Aneuk Teungoh penuh napsu. Matanya terbinar tajam.
“Aku tak sudi bersama engkau!”
“Tak apa, Inong Tulôt. Aku tak akan menyakiti engkau,”
“Aku tak mau!!!” Inong Tulôt memekik keras sampai Aneuk Teungoh dan anak buahnya menutup telinga. Inong Tulôt keluar dari lingkaran orang-orang itu. Ia kembali berlari. Bungôeng ie mawôe dan tempurung kelapa ia pegang erat-erat. Setiap kali Aneuk Teungoh mendekat, setetes air jatuh dari bungôeng ie mawôe dan membuat Aneuk Teungoh terjatuh. Di kesempatan lain, serbuk bungôeng ie mawôe jatuh, pohon-pohon tumbang di hadapan Aneuk Teungoh dan anak buahnya yang terus mengejar Inong Tulôt.
“Cepat ambil bungôeng ie mawôe itu!” perintah Aneuk Teungoh kepada anak buahnya.
Aneuk Teungoh dan anak buahnya tidak lagi berusaha menangkap Inong Tulôt. Mereka juga mengejar bungôeng ie mawôe yang menjadi senjata mujarab Inong Tulôt.
Aneuk Teungoh dan anak buahnya kembali berkerumun membentuk lingkaran. Inong Tulôt menjerit ketakutan di tengah-tengah orang dewasa. Aneuk Teungoh membayang-bayangi dengan badan gempalnya. Tangan Aneuk Teungoh meraih-raih dengan lebih bertenaga. Aneuk Teungoh begitu berambisi menaklukkan bungôeng ie mawôe dan Inong Tulôt. Dalam sekali tarikan, Aneuk Teungoh berhasil menarik tempurung kelapa hingga terjatuh. Seketika tanah di bawah mereka menggelembung.
“Apa ini? Apa ini?” suara Aneuk Teungoh panik. Ia menjauh dari gelembung tanah dan Inong Tulôt yang berdiri di dekatnya.
Gelembung tanah semakin membuncah. Sesuatu akan keluar dari dalam tanah. Inong Tulôt juga ketakutan sama halnya dengan Aneuk Teungoh dan anak buahnya. Mereka menunggu benda apa yang keluar dari dalam tanah.
“Hantu!!!” pekik Aneuk Teungoh begitu melihat makhluk yang keluar dari gelembung tanah itu. Agam Tuha berdiri dengan gagah dari sana. Aneuk Teungoh dan anak buahnya lari terbirit-birit. Mereka mengira itu adalah hantu Agam Tuha yang telah mereka bunuh. Padahal mereka tidak menguburkan jasad Agam Tuha yang telah mereka kira telah meninggal.
Inong Tulôt menghapus air matanya. Ia kembali bergembira menemukan Agam Tuha. Ia teramat takut Agam Tuha pergi meninggalkannya seperti Keumala, ibu mereka. Tempurung kelapa telah mengembalikan Agam Tuha.
Akhir cerita ini, Agam Tuha dan Inong Tulôt hidup dalam bahagia dan bergelimangan harta. Hasil jerih payah Agam Tuha tidak jadi dirampas Aneuk Teungoh. Aneuk Teungoh pun tidak pernah muncul lagi dalam kehidupan Agam Tuha dan Inong Tulôt.
***

*Disadur dari cerita rakyat Batu Terbelah yang berkembang di Aceh Barat. Nama tempat dan tokoh lahir dari proses kreatif penulis karena cerita yang penulis dengar dari waktu ke waktu tidak memiliki unsur tokoh yang kuat. Konsep cerita ini sedikitnya telah berubah menurut orang berbeda karena sudah jarang diceritakan. Cerita ini diceritakan kembali tanpa mengubah konsep dasar dari cerita mengenai Batu Blah, di mana kisah anak durhaka kepada orang tuanya (ibunya). Si Belalang yang disimpan Keumala dipercaya sebagai jelmaan dari Ayah kedua anak dalam cerita ini. 

Itulah sedikit Artikel Batu Blah -Bagian Empat terbaru dari kami

Semoga artikel Batu Blah -Bagian Empat yang saya posting kali ini, bisa memberi informasi untuk anda semua yang menyukai Cyber Pekok. jangan lupa baca juga artikel-artikel lain dari kami.
Terima kasih Anda baru saja membaca Batu Blah -Bagian Empat