Judul: Berbagi Info Seputar Patung Porno di Kota Tua Jakarta Full Update Terbaru
link: Patung Porno di Kota Tua Jakarta
Artikel Terbaru Patung Porno di Kota Tua Jakarta Update Terlengkap 2017
Kota Tua Jakarta - Bai Ruindra |
“Ke mana kita?” tanya Citra begitu kami bertemu. Pertengahan November 2015 saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Ibu Kota. Memang, selama ini kerap kali saya berujar, “Kapan ya bisa ke Jakarta?”
Perkataan adalah doa.Saya mempercayainya begitu kesempatan ke Jakarta terkabul. Sebenarnya, ke Jakarta kali bukan semata jalan-jalan saja dengan biaya sendiri. Berkat ngeblogmengenai teknologi, sering mereview produk dari produsen asal Taiwan (laptop, tabletdan smartphone), saya diundang untuk menghadiri acara terbesar dan termegah yang mereka adakan di tahun 2015.
Sering pula saya berkata, “Ke Jakarta wajib ke Kota Tua!”
Beberapa kali saya membaca ulasan mengenai Kota Tua di Jakarta, sampai saya pun menulis review tentangnya di blog beberapa waktu lalu. Kota Tua adalah tempat berdirinya bangunan bersejarah republik ini selama perang melawan kolonial Belanda. Banyak saksi sejarah yang membuat saya iri bahwa perjuangan masa dulu tak semudah injakan kaki saya di tempat ini.
Saya dan Citra berdiri sempoyongan di dalam bus TransJakarta. Manis-manis asam gula Jawa berada di dalam kendaraan sejuta umat ini. Saya yang awam sekali dengan Ibu Kota merapatkan diri dalam kungkungan anak muda yang sedang pulang dari lari pagi di hari Minggu itu. Citra tak henti-hentinya mengingatkan saya, “Dompet, handphone, ransel taruh di depan!”
Anjuran Citra ternyata juga terdengar di dalam bus TransJakarta. Kondektur (benar sebut ini?) berulang kali pula mengingatkan supaya menjaga barang bawaan dengan baik. Dari suara perempuan di pengeras suara pun tak henti-henti mengingatkan untuk memperhatikan kembali barang bawaan jika ingin turun di salah satu halte.
Tibalah kami di Kota Tua. Berlagak kampungan saya berujar, “Orang Jakarta itu nggak ada liburnya ya, Cit?”
Citra tak menjawab kala itu. Langkah kakinya besar-besar, mungkin sudah terbiasa dengan suasana Jakarta. Saya sedikit pelan dan seringkali tertinggal di belakang karena saya pikir Jakarta ini ya sama dengan di Aceh, nggak mesti ngejar-ngejar kalilah. Padahal saya salah, langkah Citra yang lebih cepat karena untuk menghemat waktu kami. Setelah Kota Tua, kami akan ke beberapa tempat lain, termasuk nonton bioskop – kami mencari bioskop yang menawarkan harga paling murah.
Keramaian di Kota Tua - Bai Ruindra |
Citra yang hampir melupakan saya - Bai Ruindra |
Saya benar-benar heran dengan kondisi Kota Tua. Bukan soal bangunannya. Tetapi lautan manusia yang padat sekali. Bagi saya, pengunjung di Kota Tua cukup ramai di hari Minggu itu. Beragam usia menikmati suguhan manis dari sejarah Indonesia. Beberapa bangunan bisa dimasuki – dijadikan museum – dengan harga tiket lumayan murah sekitar Rp. 5.000,00 perorang untuk umum dan Rp.2.000,00 perorang untuk siswa.
Halaman yang luas membuat suasana di Kota Tua panas sekali dengan tanpa pohon yang rindang. Panas matahari tidak membuat pengunjung berteduh ke dalam museum namun berlomba-lomba mengabadikan kenangan di sekitar bangunan. Latar belakang bangunan tua adalah salah satu kesan menarik bahwa zaman Belanda menjadi kekal di dalam ingatan masyarakat Indonesia. Kolonial Belanda tak pernah bisa dilupa sampai ke anak cucu karena dari merekalah Batavia merajang duka sampai ke seluruh negeri. Memang, tidak ada lagi keperihan di dalam museum di Kota Tua ini. Saksi sejarah lebih kepada penampilan para elit Belanda kala itu dan pernak-pernik rumah tangga yang abadi. Kayu jati itu terkesan sangat “mahal” sebagai saksi sejarah dan pemanis museum. Sayangnya, saya tidak bisa duduk manis di salah satu kursi tersebut karena terdapat larangan untuk menyentuhnya.
Satu keunikan saat memasukin salah satu museum adalah dengan menanggalkan sepatu atau sandal. Penjaga di dalam museum kemudian memberikan kantung kain berisi sandal yang bersih. Kami semua mengganti sepatu dengan sandal tersebut dan menentengnya ke mana-mana selama berada di dalam museum. Saya dan Citra memilih mengikat kantung kain itu di antara tali ransel. Lebih aman dan praktis karena tangan kami sibuk dengan smartphone. Tentu saja kegiatan mengabadikan kenangan melalui kamera smartphone adalah pilihan wajib. Saya tak mau sampai di Aceh hanya berbagi cerita lewat suara, beda orang beda pula cerita yang saya suguhkan. Dengan sebuah foto, siapapun di kampung nanti bebas mendeskripsikan apa yang terlihat di dalam hasil kamera tersebut.
Perang melawan Belanda - Bai Ruindra |
Keramaian di dalam museum - Bai Ruindra |
Salah satu peralatan dapur - Bai Ruindra |
Dilarang duduk di kursi ini - Bai Ruindra |
Keluar dari museum itu, saya berselfie ria. Eh, tahu-tahunya mata saya hampir meloncat keluar begitu berhadapan dengan patung telanjang.
“Hei, patung itu nggak pakai baju!” ujar saya histeris. Saya yang porno atau patung itu yang memang sangat porno. #ups
Patung itu adalah patung “porno” pertama kali saya lihat. Lebih tepatnya saya jarang sekali melihat patung di Aceh. Mumpung masih di Kota Tua dan belum ada yang tertarik untuk memotret patung tak tahu malu itu, saya membidikkan kamera ke arahnya. Sekonyong-konyong patung itu melompat ke arah saya dan memeluk saya dengan erat. Tak ayal saya mengelak dan patung itu telungkup ke lantai, patah lengan dan siku. Tahu-tahunya Citra membelai patung itu saking sayangnya dia patah arah. Tak tahu malu saya mencubit sedikit bagian dari tubuh patung tak berbaju itu. Begitu kembali ke alam nyata, si patung porno masih berdiri dengan ganjennya menunjuk ke langit. Entah apa tujuan dari patung porno itu menunjuk langit dan memegang semacam tongkat sihir. Patung porno ini pastilah menyimpan rahasia yang enggan dia bagi kepada kami. Tapi benar, apabila bola sebagai alas kakinya berputar, patung porno itu pastilah memekik begitu saya memotretnya. Saya pikir, patung itu juga memiliki perasaan halus seperti kapas. Mana tahu dia malu terlalu sering dilihat orang banyak. Hahaha!
Awas, ada patung porno! - Bai Ruindra |
Garing banget ya cerita ini. Tapi ya, nggak mungkin patung itu berdiri sepornonya tanpa ada sebab akibat. Saya dan Citra seakan lupa asal-muasal patung ini. Biarlah jadi kenangan dan rahasia. Saatnya kami menikmati kerak telur yang dijual tak jauh dari patung porno ini berdiri tegak!
Selfie dulu, eh ada ikut yang bergaya di belakangnya :) |
Itulah sedikit Artikel Patung Porno di Kota Tua Jakarta terbaru dari kami
Semoga artikel Patung Porno di Kota Tua Jakarta yang saya posting kali ini, bisa memberi informasi untuk anda semua yang menyukai Cyber Pekok. jangan lupa baca juga artikel-artikel lain dari kami.
Terima kasih Anda baru saja membaca Patung Porno di Kota Tua Jakarta