Judul: Berbagi Info Seputar Batu Blah - Bagian Satu Full Update Terbaru
link: Batu Blah - Bagian Satu
Artikel Terbaru Batu Blah - Bagian Satu Update Terlengkap 2017
Pada suatu masa, di sebuah desa yang asri. Desa Ie Meh[1] namanya. Hiduplah keluarga bahagia. Seorang Ibu bernama Keumala yang cantik jelita dan baik budinya, bersama dua orang anaknya, Agam[2] Tuha[3] dan Inong[4] Tulôt. Agam Tuha berumur sepuluh tahun dan Inong Tulôt berumur tujuh tahun.
Desa yang permai itu dihiasi oleh pemandangan indah. Sebelah timur adalah sungai dengan air kekuningan, yang bayang matahari terbit terjun bebas ke dasarnya. Sebelah barat tak lain dua gunung berjejer rapi yang matahari tenggelam di antara keduanya. Sebelah selatan terdapat sawah seluas mata memandang, di mana orang-orang desa bersawah di sana. Sebelah utara ialah hutan belantara yang jarang dikunjungi warga desa. Orang-orang desa sangat percaya pada petaka. Di hutan, terdapat sebuah batu besar yang enggan mereka sebutkan di mana letak keberadaannya. Batu besar itu bernama Batu Blah, mempunyai mulut terbuka dan tertutup. Batu Blah bisa menerkam siapa saja yang mendekat ke arahnya. Batu Blah memakan habis-habis mangsanya sampai tak tinggal sisa dan tak pernah ditumpahkan sisanya sedikit saja. Jika ada makhluk yang mendekat dengannya, atau hilang di tengah hutan, maka jangan dicari lagi jika jejak tak pernah ditemui. Bisa jadi telah dimangsa oleh Batu Blah.
Keumala yang sibuk. Tiap hari ia pergi ke sawah. Agam Tuha dan Inong Tulôt disuruh menjaga rumah. Rumah itu tidaklah besar. Rumah itu terbuat dari kayu yang telah lapuk di makan usia dan beratap rumbia. Rumah itu menghadap ke sawah dan membelakangi hutan belantara. Di depan rumah terdapat sumur tanah yang airnya dangkal berwarna jernih. Air itu pula digunakan untuk kebutuhan sehari-hari keluarga Keumala.
Keumala ke sawah, Agam Tuha menjaga adik perempuannya. Mereka bermain di perkarangan rumah yang tumbuh rumput liar. Mereka selalu tidak sabar menunggu Keumala pulang. Mereka juga tak pernah meninggalkan rumah karena Keumala berpesan demikian. Ucapan orang tua adalah keramat untuk segala urusan lainnya. Agam Tuha dan Inong Tulôt tak mau kualat dan tak sudi menjadi anak durhaka.
Pada suatu hari yang cerah, Keumala pulang dengan sumringah. Agam Tuha dan Inong Tulôt selalu senang mendapati Keumala yang lelah. Keumala memikul beras dipunggungnya. Agam Tuha dan Inong Tulôt bahagia karena sebentar lagi mereka akan segera makan enak. Agam Tuha dan Inong Tulôt segera mandi dan mengenakan pakaian rapi.
Keumala menanak nasi lebih banyak sore itu. Sambil menendangkan syair-syair yang kerap ia perdengarkan kepada kedua anaknya, Keumala mengaduk-aduk nasi yang hampir matang. Tak jauh dari Keumala berdiri, terdapat sebuah meja kayu yang telah usang. Di atas meja kayu itu, Keumala menaruh makanan untuk dimakan Agam Tuha dan Inong Tulôt jika ia ke sawah. Namun, mulai sekarang di atas meja itu tidak hanya terdapat tudung saji kosong saja, Keumala menempatkan sebuah tempurung kelapa kecokelatan di salah satu sudutnya. Tempurung kelapa itu ia telungkupkan bagian permukaan terbuka ke meja. Lalu, ia berpesan kepada Agam Tuha dan Inong Tulôt.
“Jangan pernah kalian buka tempurung kelapa ini!”
“Kenapa Mak melarang kami?” tanya Agam Tuha. Anak laki-lakinya itu tidak serta-merta menuruti perintah Keumala.
“Mak tidak melarang. Mau meminta pada kalian untuk menjaganya dengan baik,”
“Bukankah itu tandanya Mak melarang?” Agam Tuha keberatan menerima perintah Keumala karena ia penasaran dengan isi di bawah tempurung kelapa itu.
“Tak ada apa-apa, Agam. Mak meminta kalian untuk menjaganya saja!”
Agam Tuha dan Inong Tulôt memahami perintah Keumala. Hari terus berganti. Bulan terus berlalu. Lepas dari pandangan Agam Tuha dan Inong Tulôt, Keumala selalu menyuapi tempurung kelapa dengan sesuap nasi. Jika biasanya Keumala tidak pulang di tengah hari, selama tempurung kelapa itu ia tempatkan di atas meja, Keumala selalu pulang. Agam Tuha dan Inong Tulôt menaruh heran pada Keumala. Ketika Keumala luput, Agam Tuha mengintip dari balik celah rumah kayu mereka. Agam Tuha memperhatikan Keumala menyuapi nasi ke tempurung kelapa. Agam Tuha merenung dan berpikir apa yang dilakukan ibunya. Tanpa pernah disampaikan kepada Inong Tulôt, Agam Tuha mengambil kesimpulan untuk membuka tempurung kelapa itu suatu saat nanti.
Rahasia Keumala tetap terjaga rapi. Sampai pada suatu hari, Keumala tidak pulang pada waktu siang. Agam Tuha dan Inong Tulôt sudah teramat lapar dan mereka tidak tahu harus berbuat apa. Agam Tuha belumlah bisa menanak nasi di tungku. Inong Tulôt menghidupkan api saja belum pandai. Kedua anak Keumala itu meratap dalam sedih. Inong Tulôt terus memanggil-manggil Keumala. Ibu mereka belum juga pulang. Agam Tuha mondar-mandir di dalam rumah. Di atas meja hanya ada tempurung kelapa saja. Agam Tuha sudah tahu di bawah tempurung kelapa itu ada sesuatu.
Rasa penasaran membuncah. Agam Tuha membuka tempurung kelapa. Alangkah terkejutnya Agam Tuha dan Inong Tulôt melihat seokor Belalang gemuk di bawah tempurung kelapa itu.
“Aduhai Adik, kita makan saja Belalang ini,” kata Agam Tuha sambil mengelus Belalang yang terlihat gagah.
“Jangan, Abang. Mak melarang kita membuka tempurung kelapa ini,”
“Mak tak akan tahu jika kita tak kasih tahu,”
“Tapi Mak telah melarangnya, Abang,”
Agam Tuha menulikan telinganya. Inong Tulôt tidak bisa membantah abangnya. Agam Tuha mempunyai siasat teramat cerdik. Agam Tuha mencopot kaki bawah sebelah kiri lalu memanggangnya. Aromanya sedap sekali. Inong Tulôt tidak bisa menyembunyikan rasa lapar di perutnya. Kedua kakak beradik itu menyantap kaki Belalang dengan lezat. Sebelah saja kaki Belalang itu rasanya bagai menyantap sepiring daging kerbau.
Itulah sedikit Artikel Batu Blah - Bagian Satu terbaru dari kami
Semoga artikel Batu Blah - Bagian Satu yang saya posting kali ini, bisa memberi informasi untuk anda semua yang menyukai Cyber Pekok. jangan lupa baca juga artikel-artikel lain dari kami.
Terima kasih Anda baru saja membaca Batu Blah - Bagian Satu