Judul: Berbagi Info Seputar Dua Perempuan Pada Setetes Air Hujan Full Update Terbaru
link: Dua Perempuan Pada Setetes Air Hujan
Artikel Terbaru Dua Perempuan Pada Setetes Air Hujan Update Terlengkap 2017
Ainun - Bai Ruindra |
Bicara harapan, selalu ada jalan untuk meraihnya!
Kata orang bijak; banyak jalan menuju Roma!
Kata saya sih, usaha saja untuk menggapai apa yang diimpikan.
Ngomongin mimpi, semua orang pastilah memilikinya. Mimpi terpenting dalam hidup ini tak lain kehidupan layak atau hidup sejahtera. Banyak definisi untuk mencapai kata sepakat soalan sejahtera ini. Sejahtera masing-masing pribadi tentu berbeda. Tetapi, asal bisa makan dan minum saja sudah lebih dari cukup untuk mendefinisikan kata “sejahtera” yang ini.
Hidup memang bukan untuk makan. Makan tetap menjadi bagian dari hidup karena kesehatan tak pernah bisa dibanding-bandingkan dengan yang lain. Tanpa makan saya tidak pernah bisa menulis artikel ini. Salah makan pula bisa berakibat fatal, misalnya sakit lambung dan sebagainya. Selain makan, minum justru termasuk bagian nomor satu sebelum makan. Orang bisa menahan makan tetapi tak bisa menahan minum. Air tak hanya dibutuhkan sebagai pelengkap saja saat keseleksebiji anggur. Air putih misalnya mampu menghidupkan sebuah senyuman lebih lama dari biasanya. Kekurangan air putih bibir kering dan suara bisa gemetar.
Sederhana saja; tanpa secangkir kopi di pagi hari bagi mereka yang candu, rasanya lumpuh seluruh tubuh!
Mengapa kisah Nabi Ismail as. begitu menggemparkan? Karena air tetaplah sisi kehidupan yang tak bisa dibuang begitu saja. Siti Hajar kala ditinggal Nabi Ibrahim as. di padang tandus, pikiran pertama yang muncul adalah pada setetes air. Dari air bisa melakukan apapun di dunia ini. Berlarilah Siti Hajar dari bukit Safa ke bukit Marwah. Tetapi kuasa ilahi berkata lain, dari hentakan kaki Nabi Ismail as. terpancarlah air yang bersih dan bermanfaat sepanjang masa. Air itulah yang kemudian dikenal sebagai air zamzam.
Kehidupan Nabi Ismail as. maupun Siti Hajar tentu berbeda dengan kehidupan kekinian. Nabi Ismail as. merupakan manusia pilihan Tuhan untuk memimpin umat dalam rangka menyembah-Nya. Setiap doa dari Nabi Ismail as. adalah munajat panjang untuk kemaslahatan umat yang kemudian disetujui oleh ilahi. Mata air zamzamyang terus terpancar tak pernah sampai ke tanah Aceh yang bekas tsunami.
Adalah langkah saya menjejaki sebuah kampung yang seakan tak bernyawa. Kampung tsunami yang terdiri dari beberapa rumah saja berkat bantuan negeri asing kala musibah besar itu. Mereka yang seakan-akan terlupa terus berlari mengejar waktu. Mereka mengejar harapan hidup lebih baik setelah bantuan dari negara-negara donor dan pemerintah tak lagi memanjakan dapur. Di sinilah mata air tak terpancar seperti beningnya air zamzam. Air di sini tak ubah seperti warna sirup rasa orange. Di tangan saja lengket apalagi di pakaian atau bahkan untuk mencuci beras sebelum ditanak.
Mata saya menatap saja. Toh, hidup mereka di tanah sendiri ini tak akan pernah berubah jika pun saya berteriak sekuat tenaga. Nyali saya ada. Nyali mereka lebih kuat untuk menyuarakan keterpurukan ini. Namun air sumur di tanah mereka tetap saja kuning. Mereka – dahulu – hanya mendapatkan rumah tetapi belum menerima suplay air bersih yang memadai.
Kampung Suak Pantee Breuh, di semenanjung jalan raya menuju ibu kota Provinsi Aceh. Kampung ini masuk ke dalam Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Sebelah kiri kala menghadap ke Banda Aceh, adalah lautan lepas yang telah menerkam saudara-saudara mereka akhir tahun 2004. Sebelah kanan, terdapat hutan belantara yang memeluk mereka saat ketakutan dikejar air berlumpur masa itu.
Sebagian kecil dari mereka bergelimangan air bersih dari sumur bor yang ditebus dengan harga mahal. Sebagian lagi bersabar dengan air sumur yang tak sebening sumur bor tetapi masih bisa mencuci pakaian putih dengan meninggalkan sedikit sisa bercak kuning. Sebagian lagi malah lebih memperpanjang sabar karena air sumur mereka benar-benar butuh bantuan alat lain sebelum bisa dikonsumsi sebagai minuman maupun mencuci pakaian.
Teramat lama kisah perjalanan hidup mereka terurai. Tsunami 10 tahun telah berlalu. Mereka menikmati air yang itu-itu saja. Tak ada pilihan untuk mengubah hidup. Ke tetangga juga sama. Ke tetangga jauh tak mungkin terus-menerus dilakukan setiap saat. Untuk hal kecil saja seperti buang air besar maupun air kecil tengah malam, tak mungkinlah merantau ke tetangga yang memiliki air bersih. Pilihannya bertahan dengan air kuning dan membersihkan diri sampai mandi dengan air yang sama. Rasanya, entahlah bagaimana. Tangan saja saya celupkan ke dalam timba air kuning itu seakan-akan meninggalkan warna dan bau tak sedap. Saya hanya sebentar lewat. Mereka telah menikmati bertahun-tahun lamanya.
Kesabaran itu – di antara mereka di sana – adalah milik Ainun dan Misran. Dua perempuan yang sendu dan membiarkan kehidupan mengalir seperti air keruh yang disaring pada saringan tak bersih. Misran memiliki keberuntungan lebih beberapa derajat dibandingkan Ainun. Sumur Misran tidak sekuning milik Ainun. Keberuntungan lain adalah sumur Misran yang letaknya persis di bawah atap rumah. Bersama suami, Misran mengawinkan air hujan dengan sumur. Perkawinan tak resmi ini terjadi setiap kali hujan melanda daerah itu. Jika hujan begitu lebat, Misran bisa bersenang hati untuk satu sampai dua hari karena air sumurnya berubah bersih dan penuh. Jika hujannya hanya gerimis, kadang untuk mencuci setumpuk pakaian kotor saja tak cukup. Jika musim kemarau, rutinitas menyaring air sumur kembali dilakukannya supaya anak dan suami mengonsumsi air bersih. Entah bagaimana saya mengartikan kata bersih itu. Bagi saya yang terbiasa mengonsumsi air bersih isi ulang, air sumur Misran – terlebih Ainun – bukanlah air untuk dikonsumsi tubuh manusia.
Perkawinan air di rumah Misran - Bai Ruindra |
Sumur di rumah Misran - Bai Ruindra |
Ainun mesti berjuang lebih keras untuk mendapatkan air bersih dari sumurnya yang kuning. Jika hujan melanda, tak ada perkawinan sumur dengan air hujan. Ainun menampung air hujan yang jatuh lebih banyak diteras rumahnya. Tiap hari ia menimba air lalu dimasukkan ke dalam drum bekas aspal yang telah dibolong satu sisi, dimasukkan batu, pasir dan kerikil. Drum bekas yang telah dipotong setengah itulah menjadi penyaring air kuning dari sumurnya yang tak pernah menjadi bening walaupun banjir dan hujat lebat. Tangan Ainun tak pernah lelah menarik timba yang telah berlumut. Pagi hari ia menyaring air untuk dimasak, mencuci piring sampai mencuci beras. Siang hari ia kembali menyaring untuk kebutuhan lain seperti memasak sayur atau ikan hasil tangkapan suaminya dari danau yang menuju bibir pantai, di belakang rumah mereka. Sore hari ia harus menyaring lebih banyak air karena malam tak pernah bisa ditebak. Kadang lampu padam pada saat ia membutuhkan air bersih. Kadang pula, dini hari ia berhasrat ke kamar kecil. Dan sebelum fajar ia mesti berwudhu untuk menunaikan dua rakaat sebelum memulai hari. Saat pakaian kotor menumpuk, ia harus berulang kali menyaring air supaya kain bajunya dan suami tak berlumut. Tetapi, sepandai-pandainya manusia mengibuli kehidupan ini, kehidupan tak pernah memihak. Air bersih yang diharap Ainun benar-benar bersih tak pernah bisa dikatakan bersih. Pada permukaan bawah ceret plastik yang dijadikan wadah air setelah dipanaskan, tampak warna kuning tak mudah dibersihkan dan sisa air keruh “kekuningan” seperti bubur.
Ainun sedang menimba air dari sumur - Bai Ruindra |
Ainun menuangkan air ke dalam penyaring (drum bekas) - Bai Ruindra |
Penyaring air di rumah Ainun - Bai Ruindra |
Kondisi sumur di rumah Ainun - Bai Ruindra |
Proses penyaringan air di rumah Ainun - Bai Ruindra |
Berteriak pada siapa?
Suara Ainun dan Misran teramat lembut untuk didengar oleh siapapun itu. Tiap hari kehidupan mereka begitu adanya. Pernah bermimpi memiliki sumur bor seperti tetangga yang berada, tetapi mimpi itu tak pernah menguap ke permukaan. Ainun dan Misran hanya dua perempuan di antara perempuan lain di kampung itu. Tak ada pekerjaan tetap. Begitu pula dengan suami keduanya. Suami Ainun dan Misran bekerja apa saja. Saat menjelang bulan Ramadhan, keduanya berkebun semangka di pinggir pantai. Saat musim panas tiba, mereka menanam kacang tanah atau cabai di ladang tengah hutan. Saat tak ada musim apa-apa, mereka mengais apa saja untuk bisa dimakan. Tak ada harapan untuk meneguk air bersih seperti dalam iklan-iklan televisi.
Pada saya yang dikira pemberi bantuan, mereka berkata; “Kami butuh air untuk kehidupan lebih baik!”
Saya tak mengiyakan. Saya tak tahu mengiba pada siapa. Seandainya kekuatan saya seperti pahlawan tanpa tanda jasa di layar kaca, saya akan membangun sumur bor di sisi rumah mereka. Dengan demikian, tidak hanya Ainun dan Misran yang mengecapi nikmatnya air bersih, tetapi tetangga mereka yang belum sempat saya kunjungi juga merasakan hal yan sama. Lengan Ainun tak lagi pegal menarik timba tiap saat. Mata Misran tak lagi menengadah menatap langit, berharap hujan segera tiba.
Segitu pentingkah air untuk kehidupan ini, Kawan!
Saat dehidrasi saya bisa mengemis seteguk air pada mereka yang ada. Baju yang bau apek tak pernah berkata untuk minta dicuci. Penyakit yang muncul karena mengonsumsi air keruh suatu saat akan meminta pertolongan.
Ini hanya sepenggal cerita menurut pengamatan saya. Terlalu egois saya tidak menorehkan dalam kata-kata di saat derita mereka bertahun lamanya. Pada Anda; tengoklah mereka melalui tulisan ini!
Itulah sedikit Artikel Dua Perempuan Pada Setetes Air Hujan terbaru dari kami
Semoga artikel Dua Perempuan Pada Setetes Air Hujan yang saya posting kali ini, bisa memberi informasi untuk anda semua yang menyukai Cyber Pekok. jangan lupa baca juga artikel-artikel lain dari kami.
Terima kasih Anda baru saja membaca Dua Perempuan Pada Setetes Air Hujan