Info Tentang Roda yang Tak Pernah Ingkar Janji #SafetyFirst Update Terbaru 2017 Gratis

Sedikit Info Seputar Roda yang Tak Pernah Ingkar Janji #SafetyFirst Terbaru 2017 - Hay gaes kali ini team Cyber Pekok, kali ini akan membahas artikel dengan judul Roda yang Tak Pernah Ingkar Janji #SafetyFirst, kami selaku Team Cyber Pekok telah mempersiapkan artikel ini untuk sobat sobat yang menyukai Cyber Pekok. semoga isi postingan tentang Artikel #Fiksi, Artikel Cerpen, Artikel Pendidikan, yang saya posting kali ini dapat dipahami dengan mudah serta memberi manfa'at bagi kalian semua, walaupun tidak sempurna setidaknya artikel kami memberi sedikit informasi kepada kalian semua. ok langsung simak aja sob
Judul: Berbagi Info Seputar Roda yang Tak Pernah Ingkar Janji #SafetyFirst Full Update Terbaru
link: Roda yang Tak Pernah Ingkar Janji #SafetyFirst
"jangan lupa baca juga artikel dari kami yang lain dibawah"

Artikel Terbaru Roda yang Tak Pernah Ingkar Janji #SafetyFirst Update Terlengkap 2017

Hujan telah tiba - muzalifahmdbadar.blogspot.com
Hujan lebat. Petir menyambar. Halilintar bergemuruh.

Aku berdiri di halte yang mulai sepi, di senja yang berlalu kaku. Ingin rasanya aku segera sampai di rumah. Berbaring di tempat tidur empuk adalah pilihan terbaik dalam suasana alam begini. Barangkali, sambil menunggu kantuk tiba aku masih bisa menyeduh teh hangat dan kubeli pisang goreng di pinggir jalan. Hitung-hitung beramal pada penjual pisang goreng yang kehujanan.

Entah kenapa. Aku belum mau beranjak dari halte yang telah ditinggal satu persatu orang berteduh. Satu dua memilih menghalau hujan karena magrib telah tiba. Sisa yang lain mengenakan jas hujan lalu meninggalkan halte dengan sepeda motor mereka. Aku malah bermain dengan waktu. Jarak tempuh dari halte ke rumah kurang lebih dua puluh menit tanpa macet. Apabila hujan lebat begini, jalanan di lampu merah bisa lebih macet karena deretan kendaraan roda empat berebut tempat tercepat. Saat-saat seperti itulah yang ingin kuhindari karena petir dan halilintar membuat nyaliku menciut.

Dalam sendiri ini, sejujurnya aku telah gemetar. Aku tidak takut sendiri di halte ini. Di sebelah kanan warung kopi masih ramai pengunjung. Di sebelah kiri toko pakaian juga masih buka. Di depan adalah swalayan yang ramai pengunjung walaupun sedang berkumandang azan magrib.

Aku takut pada petir dan halilintar!

Wajar saja bukan?

Entahlah jika kau tidak percaya. Namun aku bersungguh mengatakan ini. Hujan yang turun tampak putih di sejauh mata memandang. Hanya terlihat kedip lampu kendaraan dan lampu-lampu di tiang listrik maupun bangunan di sekitar. Sesekali petir menambah pencahayaan di hari yang kian beranjak pulang. Keikutsertaan halilintar membuat kota kami seakan sedang mengadakan acara besar. Silih berganti. Berirama rapi. Dalam ketakutan. Kegamangan. Dan kuyakin, semua orang di sini merasakan hal yang sama.

Aku tidak tahu dari mana datangnya nyali itu. Tiba-tiba saja aku mengeluarkan jas hujan dari dalam bagasi sepeda motor dan mengenakannya. Sebelumnya, aku telah yakin sekali untuk tidak beranjak dari halte. Kupikir, menunggu hujan reda adalah alternatif terbaik. Tapi aku tak habis pikir kenapa ragaku tidak sejalan dengan apa yang kupikirkan. Bahkan, aku telah menghidupkan mesin sepeda motor, menarik gas, perlahan-lahan kendaraanku meninggalkan halte dalam kesendiriannya.

Derasnya hujan menghujam – seperti benar – jantungku. Tubuhku seperti sedang ditembakkan peluru tak tembus badan. Berkali-kali sampai aku tidak bisa bernapas atau mungkin melawannya. Tembakan demi tembakan terasa ke seluruh tubuhku. Badanku yang kurus oleng ke kiri dan ke kanan menahan arus angin dari depan. Aku melawan, memelankan kendaraan, melirik ke spion kiri dan kanan. Di belakangku tidak ada seorang pun yang menghidupkan lampu kendaraan mereka. Mungkin juga tidak ada siapapun di belakangku. Ke mana juga mereka yang sedari tadi kulihat di halte berlalu-lalang di tengah hujan lebat ini?

Aku mulai gelisah. Gesekan ban kendaraan dengan aspal terasa ringan sekali. Gaya tekan ban terhadap aspal tak lagi besar. Gesekan yang terjadi licin sekali sampai aku harus berhati-hati menarikan sepeda motor di jalan itu. Pada saat tidak seimbang, aku bisa saja terpeleset.

Jas hujan yang kukenakan melayang-layang, menambah berat beban yang mesti kupertahankan keseimbangannya. Kendaraan yang melewatiku rata-rata roda empat. Aku semakin khawatir dengan kondisi yang belum memungkinkan hujan reda. Di pinggir jalan orang-orang masih berteduh dengan harapan hujan akan berhenti sejenak. Aku malah memikirkan hujan itu hanya lebat di belakangku saja. Pemikiran yang bodoh sekali dan kusesali kemudian karena hujan ini tetap sama di kota kecil kami.

Petir melesat di depanku. Secara refleks pula aku menarik gas sepeda motor dengan sangat dalam. Kendaraan yang kukendarai masuk ke dalam genangan air, ada lubang di sana. Aku terdorong ke depan. Kendaraan tidak berhenti, ban yang telah kehilangan sebagian besar bunganya berderit. Aku memekik. Jantungku berdetak cukup kencang. Tanganku tidak lagi kaku, panas seketika, mengeluarkan keringat dingin dari dalam tubuh yang hampir beku. Inilah saatnya aku akan terjatuh. Di tengah hujan lebat pula. Tak mungkin ada pertolongan. Bisa digilas oleh kendaraan manapun yang tidak melihat tubuhku terkulai lemah.

Rupanya keseimbanganku kembali stabil. Tubuhku telah duduk dengan tegak seperti semula. Jantungku perlahan-lahan mulai mengetukkan nadanya dengan pelan. Keringat yang hampir keluar banyak redalah sudah. Tanganku kembali merasakan tembakan hujan yang semakin menjadi-jadi. Kakiku terasa keram. Aku lupa melepaskan kaos kaki di halte itu. Seharusnya aku melepas dahulu kaos kaki supaya tidak bercampur dengan air di dalam sepatu. Bila perlu, sepatu pun kulepas saja karena sungguh berat saat air hujan berteduh di sana.

Aku mengamati suasana di sebelah kiri, mencari tempat berteduh. Kuhidupkan lampu aba-aba sebelah kiri saat melihat sebuah toko yang dijadikan tempat berteduh oleh beberapa orang. Tak lama aku mematikan sepeda motor yang sepertinya juga telah kedinginan. Di tempat itu terdapat tiga pasangan berteduh dalam diam. Mungkin bahasa mereka telah mendingin seiring hujan yang belum mau reda menjelang isya.

Kulepas sepatu beserta kaos kaki. Sepatu sport warna putih itu telah berat sekali menampung air hujan. Kaos kaki yang telah kulepas kumasukkan ke dalam bagasi yang muat helm. Kupikir-pikir, akan sakit telapak kaki jika tidak mengenakan sepatu. Kuputuskan untuk mengenakan kembali sepatu yang telah basah kuyup itu.

Aku heran dengan apa yang kulakukan. Orang-orang yang berteduh juga memikirkan hal serupa, mungkin. Toh, tidak ada alasan yang kuat aku berteduh di sana. Cuma melepas kaos kaki lalu kembali menghidupkan sepeda motor. Tanpa peduli apapun aku meninggalkan tempat itu. Entah karena lupa, aku tidak melihat ke arah jalan. Kujalankan sepeda motor dengan santai sampai ke tengah. Aku sibuk merapikan jas hujan yang berterbangan. Saat kedua tanganku tegap memegang stang, dalam posisi masih miring, aku terpelanting beberapa meter ke depan.

Ya. Aku telah ditabrak orang!

Disaat petir dan halilintar bersahutan.

Mesin sepeda motor itu langsung padam. Ban hitam itu perlahan-lahan berhenti berputar. Aku masih setengah sadar. Bangkit secepat kilat. Mendirikan kendaraan yang entah apa yang terjadi padanya. Kulihat orang yang menabrakku juga melakukan hal yang sama.

“Tidak apa-apa bang?” tanya anak laki-laki yang kutaksir masih duduk di sekolah menengah atas.

“Tidak,” jawabku gemetar.

“Saya duluan bang,” ujar anak itu juga telah terdengar gemetar. Wajahnya tersirat khawatir dan membiru. Dia tidak menggunakan helm maupun jas hujan. Lampu kendaraan miliknya juga padam. Mungkin karena itu pula spion kendaraanku tidak bisa membaca ada kendaraan lain di belakang. Anak itu telah melaju kencang dalam hujan. Kepalanya menunduk. Badannya membungkuk. Gaya mengendarai anak-anak masa kini. Mungkin juga dia tidak melihatku yang berbelok mencari jalan lurus dengan kondisi mengendaranya yang demikian.

Aku memulangkan kembali yang kupikirkan pada waktu yang bisa menjawabnya nanti. Kepalaku telah berkunang-kunang. Aku berdiri kaku di tengah jalan. Orang-orang yang berteduh di tempatku melepas kaos kaki tidak seorang pun yang berlari menolong. Aku tahu, mereka takut pada hujan lebat. Aku tertawa dalam hati. Alasan yang tidak masuk akal aku berhenti di sana. Cuma melepas kaos kaki. Itu saja!

Oh, petaka itu tak usai rupanya. Tanganku berdarah. Aku kalut harus berbuat apa. Tidak ada kain yang bisa menutupi luka yang kian perih terkena air hujan. Hanya kaos kaki di dalam bagasi sebagai alternatif terakhir. Kubuka bagasi dengan cepat, kuambil koas kaki dan kulilit pada tangan kiri yang terluka. Aku tidak tahu daerah mana luka itu. Perih yang terasa antara jari kelingking dengan jari manis. Aku khawatir jika jariku akan putus!

Keputusan salah telah diambil sebelumnya, kuputuskan untuk melaju. Aku pun telah basah karena jas hujan yang kukenakan ikut robek. Masih untung ransel tidak putus talinya, jika saja itu terjadi notebook dan smartphone bisa terpelanting jauh dan digilas oleh kendaraan roda empat yang lalu-lalang tak menghiraukanku.

Kuhidupkan kembali kendaraan dengan hati tak tenang. Kendaraan hidup, hujan mereda. Nahas sekali nasibku hari itu. Tak sabar pada waktu yang tak pernah memungkiri janji. Roda ban kendaraan memang selalu berputar jika diminta. Masing-masing bagian memiliki peranan tersendiri untuk melakukan keseimbangan pada benda mati itu. Biar dipaksa dalam hujan lebat sekalipun jika berhati-hati tetaplah dia menepati janji. Jika kebut-kebutan di tengah terik matahari sekalipun jika janjinya telah lelah, akan jatuh juga.

Aku?

Bodoh sekali berhenti sebentar di sana. Apa gunanya aku melepas kaos kaki? Nyatanya, air yang masuk ke dalam sepatu juga bertambah banyak. Sepatu itu tidak mampu menyerap air dalam jumlah banyak sehingga tergenang antara kain, busa dan jemari kaki. Aku hampir membeku. Di saat sepeda motor lain berlalu dengan kecepatan tinggi sehabis hujan, aku malah malas menarik gas dengan kencang. Perih di tangan terasa telah sampai pada puncaknya. Aku pun merasakan perih yang lain di paha kanan dan di pinggang. Aku tidak tahu kenapa tanganku bisa luka. Aku juga tidak tahu kenapa paha kanan dan pinggangku terasa sakit.

Bagaimana dengan anak laki-laki yang menabrakku?

Entahlah.

Sampai di rumah, dengan terburu-buru kubuka kaos kaki yang telah kulilitkan di tangan. Lukanya cukup besar. Kata Ayah, perlu dijahit jika ingin cepat sembuh. Kulepaskan pakaian yang setengah basah. Di paha dan pinggang tampak biru. Saran Ibu, besok mesti ke tukang urut.

Lihatlah kendaraan yang hampir saja membuat nyawaku melayang?

Dia tidak aman. Goresan luka di tanganku juga terlihat di bagian bodinya. Goresan di bodi kendaraan itu berbentuk zig zag. Di sebelah kiri. Panjangnya sejengkal. Jika diperhatikan dengan teliti akan terlihat bentuknya.

Aku telah lelah. Atribut kendaraan bermotor memang kugenapkan semua. Nasib tidak baik memang tak pernah ke mana. Aku telah berlama-lama menunggu waktu untuk tidak pulang di halte. Aku telah aman berkendara walaupun hujan, petir dan halilintar tak henti. Panggilan untuk melepas kaos kaki tidak bisa kuhindari.

Tidak ada gunanya meminta waktu terulang. Luka di tanganku besok baru bisa dijahit. Malam yang tak bisa bernapas dalam hujan membuat tubuhku lelah sekali. Aku ingin segera tertidur pulas. Merebahkan tubuh yang telah kaku sejak terkena hujan sampai terjadi musibah.

Besok-besok, aku tidak akan berkendara lagi saat hujan lebat begini!
***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

Itulah sedikit Artikel Roda yang Tak Pernah Ingkar Janji #SafetyFirst terbaru dari kami

Semoga artikel Roda yang Tak Pernah Ingkar Janji #SafetyFirst yang saya posting kali ini, bisa memberi informasi untuk anda semua yang menyukai Cyber Pekok. jangan lupa baca juga artikel-artikel lain dari kami.
Terima kasih Anda baru saja membaca Roda yang Tak Pernah Ingkar Janji #SafetyFirst