Info Tentang Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami Update Terbaru 2017 Gratis

Sedikit Info Seputar Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami Terbaru 2017 - Hay gaes kali ini team Cyber Pekok, kali ini akan membahas artikel dengan judul Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami, kami selaku Team Cyber Pekok telah mempersiapkan artikel ini untuk sobat sobat yang menyukai Cyber Pekok. semoga isi postingan tentang Artikel #KisahInspiratif, Artikel Edukasi, Artikel Pendidikan, Artikel Perempuan, yang saya posting kali ini dapat dipahami dengan mudah serta memberi manfa'at bagi kalian semua, walaupun tidak sempurna setidaknya artikel kami memberi sedikit informasi kepada kalian semua. ok langsung simak aja sob
Judul: Berbagi Info Seputar Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami Full Update Terbaru
link: Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami
"jangan lupa baca juga artikel dari kami yang lain dibawah"

Artikel Terbaru Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami Update Terlengkap 2017

Seorang Istri yang tertular HIV/AIDS dari Suami - galamedianews.com
Saya perempuan baik-baik, paling tidak begitu keluarga dan teman-teman dekat memberi agrumen mereka. Saya beraktivitas seperti layaknya perempuan biasa. Masa-masa sekolah saya jalani dengan prestasi tidak gemilang dan juga tidak begitu terendah. Perkuliahan yang saya jalani juga diikuti berbagai aktivitas organisasi yang padat. Saya tergolong perempuan yang super sibuk. Pagi dari rumah dengan beban sistem kredit semester dan beberapa mata kuliah yang harus diulang. Siang menjelang sore saya habiskan bersama teman-teman aktivis kampus. Ikut demo ini itu. Seminar di sana-sini. Bahkan sampai lupa malam beranjak sangat cepat.
Usia kuliah. Aktivitas saya tidak berakhir sampai jadi pengangguran. Saya sempat bekerja di salah satu perusahaan swasta. Tidak puas dengan pekerjaan yang sedang dijalani, saya putuskan untuk berhenti. Niat traveling sejak lama membuat nyali saya tergiur. Saya packing. Siapkan ini itu. Rencana sudah dibulatkan. Saya berangkat!
Perjalanan dimulai dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju Bandara Kualanamu!

Bertemu Dia
Di ruang tunggu, saya termenung. Memutuskan memulai perjalanan ke Jakarta terlebih dahulu. Rute traveling belum terbayangkan dengan jelas. Rencana awal ke Bali, membuka perjalanan yang romantis di kota penuh warna itu.
Saya masih dalam diam di ruang tunggu keberangkatan pertama pagi itu. Duduk sambil membolak-balik sebuah buku catatan perjalanan. Lima menit berselang, seorang laki-laki duduk di kursi kosong sebelah kiri. Dia menegur dengan bahasa khas Medan. Saya menjawab seadanya. Rasa was-was. Walau dari penampilan, laki-laki ini tidak memperlihatkan ciri khas perampok. Namun saya perlu hati-hati.
Ini medan, girl!
Penampilan necis belum menjamin seorang yang baru kita kenal itu baik atau tidak. Dan ini bandara di mana kasus penipuan banyak sekali terjadi!
Dia memulai percakapan. Saya ikut alur saja. Dia tanya saya jawab. Sudah seperti sebuah permainan memperebutkan uang milyaran rupiah. Dia tertawa, saya hanya tersenyum simpul.
Perkenalan yang singkat berlanjut ke dalam pesawat. Rupanya dia sudah terlebih dahulu duduk manis di seat samping, dekat jendela. Obrolan kami berlanjut. Basa-basinya ternyata bukan hanya ingin kenal luarnya saja. Dia banyak tanya. Ingin tahu segala tentang saya.
Ini baru tahap awal, bung! Jangan terburu-buru!
Saya yang lelah karena menempuh perjalanan jauh dari Banda Aceh, meminta diri untuk rehat sejenak. Dia mengiyakan. Suatu kehormatan bagi saya. Paling tidak laki-laki yang duduk di samping saya ini tidak memaksa saya untuk terus mendengar ocehannya.
Tak lama saya terlelap, terbangun saat pesawat terguncang. Seperti lima menit lalu saya tertidur, namun ini sudah hampir sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Melirik ke laki-laki yang sebelumnya banyak bicara itu, dia hanya tersenyum. Senyum yang menawan sejak awal saya berkenalan dengannya di ruang tunggu Bandara Kualanamu.
Pesawat mendarat. Saya juga mendaratkan senyum perpisahan pada laki-laki yang telah menemani melepas jenuh selama perjalanan udara.
Baca Juga Kehidupan Gelap Sales Promotion Girl
Ke Kota Penuh Candi
Saya dan beberapa teman sudah berkumpul di Bandara Soekarno-Hatta. Kami berlima sudah setuju memulai perjalanan panjang dari kota penuh candi, penamaan kami untuk Bali. Kemudian berlanjut ke Lombok. Pulau Komodo. Pulang ke Kota Gudeg. Baru finish di Ibu Kota. Tidak banyak memang rute yang ingin kami tempuh. Tapi itu sudah cukup sebagai pengalaman pertama.
Kami sudah berada di dalam pesawat. Saya lenggak-lenggok melihat tempat saya mengistirahatkan badan. Begitu dapat saya langsung duduk manis. Tidak melihat kiri kanan. Hanya terpaku pada peta perjalanan yang sudah kami buat semalam.
Saya mendengar seorang laki-laki menegur dengan suara berat. Saya terhenyak. Tidak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki yang belum saya ketahui namanya. Bahkan asal-usulnya. Saya bingung bersambung surprise. Bingung karena tidak menyangka. Senang karena bisa ketemu lagi.
Akhirnya secara resmi dia memperkenalkan diri. Wadi dia menyebut namanya. Cerita punya cerita, dia juga mau liburan ke Bali. Tanpa saya tanya, dia sendiri yang memberitahu alasan liburan sendiri. Katanya ingin melepas duka setelah istrinya meninggal.
Dia bercerita banyak tentang Aceh. Orang-orang Aceh yang dia kenal. Makanan khas Aceh. Tempat pariwisata di Aceh. Sampai adat perkawinan di Aceh.
Wow! Saya kikuk. Laki-laki ini sampai membuat saya terpesona.
Dalam hati. Maaf sekali, tuan! Saya sudah berprasangka tidak baik di awal sapaan Anda kemarin!
Kami terus bercerita, sesekali saya melirik teman-teman yang lain. Ada yang sudah tertidur. Ada juga yang sedang mengobrol dengan teman duduknya. Kami sama-sama terhanyut dalam berbagai tema yang menarik. Lucunya, kami bisa terpisah seat padahal check in berbarengan!
Pintu kedatangan Bandara Ngurah Rai mempertemukan kami kembali. Dengan sedikit berbasa-basi saya mengajak dia ikut rombongan kami. Gayung tersambut. Dia mau ikut!
Perjalanan di Bali terasa indah. Saya banyak habiskan waktu bersama laki-laki itu. Walau teman-teman saya ikut di belakang kami. Ujung-ujungnya satu dua di antara mereka menghilang dengan rencana masing-masing. Terkesan, mereka menjodohkan saya dengan Wadi!
Saya tak ambil pusing. Wadi juga tidak mengeluh. Bali terlewati dalam memori saya. Lombok menanti dengan tingginya puncak Rinjani!

Pulang
Perjalanan saya dengan Wadi hanya berakhir di Bali saja. Kota Lombok dan Pulang Komodo tidak bisa dia susuri karena urusan pekerjaan menunggu. Dia harus pulang dengan segera dan berjanji akan menjalin komunikasi. Saya lanjutkan perjalanan bersama teman-teman. Setelah puas melihat Komodo kami putuskan pulang ke Kota Gudeg, Yogyakarta. Menghabiskan malam di Malioboro sebelum besoknya kembali ke Jakarta, transit di Medan lalu ke Aceh.
Jalan pulang rasanya terasa hampa. Saya jadi teringat Wadi. Kata-katanya pernah memotivasi saya. Memberi saya tawa. Memotret senja Pulau Dewata. Ke candi-candi peribadatan umat Hindu. Kami banyak lalui bersama. Kadang diskusi, membandingkan Medan dengan Bali. Bahkan Aceh dengan Bali. Malah sebaliknya Aceh dengan Medan!
Pesawat kami transit di Medan selama tiga puluh menit. Seseorang menepuk pundak saya saat penumpang dari Medan naik ke pesawat yang menuju Aceh.
Hei! Dia lagi?
Saya benar-benar terkejut. Tanpa memberi aba-aba dia menukar tempat duduk dengan orang lain. Ingin duduk berdampingan dengan saya katanya. Dia beralasan ada perjalanan bisnis ke Banda Aceh. Benar atau tidak saya tidak mau mempersoalkan masalah itu. Kami banyak diam selama perjalanan kali ini. Mungkin karena saya terlalu lelah. Atau karena tidak tahu apa yang ingin diceritakan lagi.

Menikah Dengan Wadi
Dia melamar saya tiga bulan setelah perkenalan kami. Karena keseriusannya, saya menerima dia sebagai pasangan hidup yang saya ingin bahagia. Kami menikah dan saya diboyong ke Medan. Kami tinggal di rumahnya yang tidak sederhana. Hari-hari yang kami lalui begitu indah. Pasangan baru. Sama-sama ingin bahagia.
Sebulan menikah saya positif mengandung. Rasa senang berlimpah ruah. Saya. Dia. Keluarga saya. Keluarga dia. Teman-teman. Semua bergembira.
Hari-hari berikut bagai pelangi bagi saya. Warna-warnanya membuat saya lebih semangat menjalani hidup. Dia selalu memberikan semua yang saya mau. Kasih sayangnya. Perhatiannya. Saya dapatkan dengan ikhlas dari tatapan matanya.
Hingga masuk usia kandungan lima bulan, kabar itu mengiris hati saya. Dia kecelakaan. Terburu-buru saya ke rumah sakit terbesar di Medan. Sesampai saya di sana, pihak rumah sakit belum mengizinkan saya menjenguk suami tercinta. Keadaannya masih kritis.
Dokter memanggil saya. Saya duduk bagai pesakitan di ruangan putih bersih itu. Omongan dokter seperti tidak saya dengar lagi. Omongannya bagaikan suara jengkrik yang tiap malam menganggu malam saya.
Suami Ibu terinfeksi HIV!
Mata saya terbelalak. Dia cuma kecelakaan! Saya berontak. Dokter muda itu memberikan alasan ini itu. Dia mengatakan suami saya pernah berobat di klinik temannya. Dia kenal dengan suami saya. Bahkan dia yang memberikan obat anti retroviral virus (ARV) pada suami saya. Saya tidak terima.
“Suami saya kecelakaan, dok,” pekik saya.
Dokter itu membenarkan. Suami saya memang kecelakaan. Tapi sebelumnya suami saya sudah terinfeksi virus HIV. Saya marah pada dokter muda itu. Saya sedang berduka, kenapa dia menambah duka lagi? Saya mengenal Wadi sebagai laki-laki baik-baik. Saya tidak menemukan “cacat” dari kehidupannya. Dokter itu terlalu mengada-ada. Wadi terlalu baik untuk menjadi suami dan anak kami. Mana mungkin Wadi terinfeksi HIV? Bagaimana? Dia main perempuan lain?
Dunia seakan telah punah. Saya tidak sangguh membayangkan rahasia yang disimpan Wadi seorang diri. Mengapa Wadi tidak terterus terang kepada saya? Mengapa Wadi menyeret saya ke dalam pusara kehidupan tak bernapas lagi ini? Mengapa Wadi menyakiti saya?
“Anda bohong! Suami saya laki-laki baik-baik!” ujar saya dengan mata menyala. Dokter itu menyodorkan secarik kertas yang menunjukkan laporan tes kesehatan Wadi.
“Kami tidak mengetahui kehidupan suami Ibu, tetapi ini adalah hasil tes dari teman saya. Saya kasih tahu ini karena kasihan kepada Ibu. Perjalanan Ibu masih panjang…,”
“Anda tidak tahu apa-apa, dok!”
Dokter itu tidak memedulikan emosi saya yang meledak-ledak. Masa depan apa? Dia memaksa saya untuk melakukan tes HIV. Saya tidak terima. Saya tidak akan kena penyakit itu. Saya tetap sehat. Suami saya sehat!
Saya berlari ke koridor rumah sakit. Saya tidak akan melakukan anjuran dokter itu. Saya sangat kuat. Dia juga sangat kuat. Sama sekali saya tidak melihat dia minum obat atau lemah. Dia sangat gagah!

Dia Pergi
Saya mondar-mandir ke rumah sakit dan klinik tempat suami saya pernah berobat. Saya meminta data yang lebih akurat. Saya tidak percaya begitu saja pada dokter muda itu. Dokter itu menambah masalah bagi saya. Walau saya tidak suka dengan dokter muda itu, ternyata dia benar. Wadi meninggal satu jam setelah dokter itu bicara panjang lebar dengan saya. Tubuh Wadi sudah sangat lemah semenjak kecelakaan. Dia butuh darah. Tapi darahnya tidak bisa menerima darah lain dengan tepat karena daya tahan tubuhnya begitu cepat menurun.
Saya menerima data akurat Wadi dari dokter di klinik yang telah memvonis penyakit itu kepadanya. Wadi sudah menipu saya. Sikap manisnya. Ucapan lembutnya. Semua darinya membuat saya jijik. Dia tidak berterus terang. Dia sudah tahu penyakit itu ada dalam tubuhnya. Dia menginginkan saya tapi tidak memperhitungkan keselamatan saya!
Sudah terlanjur. Saya telah terjerumus ke dalam pusara yang sama!
Semua berakhir. Saya ingin mati saja. Saya hanya perempuan biasa. Tidak berbuat salah. Tidak menyakiti orang lain. Tidak juga membuat Wadi kecewa pada saya!
Marah saya sampai ke ubun-ubun. Pada Wadi. Pada waktu yang membawa saya kenal dengannya. Pada rahasia yang disimpan rapat oleh Wadi. Pada kehidupan gelapnya yang saya tidak tahu seperti apa.
Seandainya saya memilih penerbangan langsung ke Jakarta waktu itu…
Derita ini punya hanya milik saya. Wadi “aman” saja telah pergi jauh. Saya dan janin yang semakin membesar ini menerima petaka tak sebentar. Wadi benar-benar jahat. Dia mencintai saya tapi malah mengecewakan saya. Cintanya. Kasih sayangnya. Perhatiannya. Pada saya. Pada hidup kami yang penuh warna. Sirnalah sudah!
Batin dan fisik saya lelah. Janin saya juga tidak bisa diselamatkan. Fisik saya semakin melemah karena virus itu menyerang entah sampai ke titik mana. Saya diwajibkan minum obat tepat waktu. Pantangan ini dan itu. Saya benar-benar lelah. Saya tertipu!
Berbekal sedih, saya diboyong tubuh lelah kembali pulang ke Aceh. Berbulan-bulan saya mengurungkan diri di rumah. Tidak ada interaksi dengan orang lain. Saya menghakimi diri sendiri. Saya menyesali hidup. Saya merasa sudah berakhir sampai di sini!

Support
Saya dikunjungi oleh orang yang tidak dikenal. Mereka mengatasnamakan aktivis penyakit yang saya tidak mau sebutkan namanya itu. Mereka memotivasi saya. Memberikan semangat. Saya tidak terlena. Saya butuh waktu untuk melupakan duka ini.
Mereka terus datang. Mereka berbagai kisah.
“Saya adalah korban!”
Mereka memaksa saya minum obat yang telah lama saya buang. Mereka membantu saya untuk bangkit seperti orang lain yang telah lama menderita karena penyakit ini. Wadi telah tiada dan saya tidak akan pernah bisa menumpahkan kecewa kepadanya. Jika saya terus-terusan mengutuk rahasia yang tak pernah terungkap ini, saya akan segera menemui ajal. Sesuatu yang sangat saya tunggu-tunggu.
“Kita masih punya Tuhan, Nak!” ujar Bapak lirih.
Berbekal sisa semangat, saya bangkit dari duduk panjang. Saya bergabung dengan mereka yang sering datang menjenguk. Saya memperjuangkan hak-hak  perempuan tertindas. Saya melupakan kecewa pada Wadi.
Hari lalu memang milik Wadi. Hari ini adalah milik saya sendiri!
***

Seperti cerita seorang teman, nama disamarkan.
Baca Juga Nasib Perempuan di Antara Harta dan Kelamin

Itulah sedikit Artikel Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami terbaru dari kami

Semoga artikel Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami yang saya posting kali ini, bisa memberi informasi untuk anda semua yang menyukai Cyber Pekok. jangan lupa baca juga artikel-artikel lain dari kami.
Terima kasih Anda baru saja membaca Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami

Related Posts :